Laman

Minggu, 17 Juni 2012

PSIKOLOGI INDIVIDU: ADLER

PSIKOLOGI INDIVIDU: ADLER

Alfred Adler lahir pada 7 Februari 1870 di Rudolfsheim, sebuah desa kecil dekat Wina. Ibunya, Pauline, adalah ibu rumah tangga pekerja keras yang sibuk mengasuh ketujuh anaknya. Ayahnya, Leopold, pedagang gandum berkebangsaan Yahudi kelas menengah yang berasal dari Hungaria. Ketika masih kecil, fisik Adler sangat lemah dan sakit-sakitan, dan pada usia lima tahun dia hampir meninggal akibat pneumonia.
Adler kecil termotivasi untuk menjadi dokter karena ia pernah mengalami kejadian yang membuatnya seperti orang yang sudah meninggal. Adler lulus dari sekolah dasar tanpa mengalami kesulitan atau diskriminasi. Namun ketika memasuki Gymnasium sebagai persiapan menuju sekolah kedokteran, dia hanya mencapai prestasi pas-pasan sampai-sampai ayahnya mengancam untuk memindahkan dia dari sekolah dan menyuruhnya menjadi pembuat sepatu salju.
Sebagai mahasiswa kedokteran lagi-lagi dia lulus tanpa memperoleh nilai istimewa, mungkin karena ketertarikannya kepada cara merawat pasien bertentangan dengan minat profesornya pada ketepatan diagnosis. Ketika pada akhirnya menerima gelar dokter di akhir tahun 1895, Adler telah mencapai impian masa kecilnya untuk menjadi seorang dokter.
Karena ayahnya lahir di Hungaria, Adler berarti memiliki kewarganegaraan Hungaria sehingga ia berkewajiban ikut tugas militer dalam angkatan perang Hungaria. Adler menyelesaikan kewajiban itu setelah menerima penghargaan atas tugasnya di bidang medis ketentaraan dan kembali ke Wina untuk mengejar gelar doktornya (Adler kemudian beralih menjadi warga Negara Austria pada 1911). Dia kemudian memulai praktik pribadi sebagai spesialis mata namun, meninggalkan spesialisasi ini dan pindah ke psikiatri dan kedokteran umum.




Ada beberapa alasan mengapa Adler kuranh dikenal jika dibandingkan dengan Freud atau Carl Jung:
1.      Adler tidak mendirikan sebuah organisasi yang dijalankan secara ketat untuk mewadahi dan mengembangkan teori-teorinya.
2.      Dia bukan penulis berbakat, dan kebanyakan bukunya disusun dari serangkaian editorial terhadap kuliah Adler yang terpisah-pisah.
3.      Kebanyakan pandangannya sudah merasuk dan dikembangkan oleh karya-karya para teoretisi berikutnya, seperti Maslow, Rogers, dan Ellis sehingga tidak perlu diasosiasikan lagi dengan nama Adler.

Nada utama teori Adlerian dapat dituliskan dalam sebuah kerangka pendek. Kerangka berikut ini diadaptasi dari sebuah daftar yang mewakili pernyataan akhir psikologi individu:
1.      Satu-satunya kekuatan dinamis di balik perilaku manusia adalah perjuangan menuju keberhasilan atau keunggulan (striving for success or superiority).
2.      Persepsi-persepsi subjektif (subjective perceptions) manusia membentuk perilaku dan kepribadian mereka.
3.      Kepribadian merupakan sebuah kesatuan dan konsisten-dalam-diri (unified and self-consistent).
4.      Nilai semua aktifitas manusia harus dilihat dari sudut pandang kepedulian social (social interest).
5.      Stuktur kepribadian yang selalu konsisten-dalam-diri ini berkembang menjadi gaya hidup (style of life) pribadi tersebut.
6.      Gaya hidup dibentuk oleh daya kreatif (creative power) manusia.

PERJUANGAN MENUJU KEBERHASILAN ATAU KEUNGGULAN (STRIVING FOR SUCCESS OR SUPERIORITY)
            Diktum pertama teori Adlerian adalah: satu-satunya kekuatan dinamis di balik perilaku manusia adalah perjuangan menuju keberhasilan dan keunggulan. Diawal kariernya, Adler percaya bahwa agresi adalah kekuatan dinamis dibelakang semua motivasi namun, dia segera menjadi tidak puas dengan pandangan ini. Setelah menolak agresi sebagai satu-satunya kekuatan motivasi, Adler menggunakan protes maskulin, yang mengimplikasikan kehendak untuk berkuasa atau mendominasi orang lain.
            Berikutnya, Adler menyebut kekuatan dinamis tunggal ini perjuangan menuju keunggulan. Namun dalam teorinya yang terakhir ini pun dia membatasi perjuangan menuju keunggulan hanya kepada orang-orang yang memperjuangkan keunggulan pribadi saja terhadap orang lain. Dari sinilah dia kemudian memperkenalkan istilah perjuangan menuju keberhasilan untuk melukiskan tindakan-tindakan manusia yang dimotivasikan oleh kepedulian sosial yang tinggi.

Tujuan Akhir (Final Goal)
Menurut Adler, manusia selalu berjuang menuju sebuah tujuan akhir entah keunggulan pribadi maupun keberhasilan bagi seluruh kemanusiaan. Namun, dalam kedua hal ini, tujuan akhir itu sendiri merupakan sebuah fiksionalisme dan tidak memiliki eksistensi objektif. Tujuan akhir baru memiliki makna penting jika dia sanggup menyatukan kepribadian dan menjadikan semua perilaku bisa dipahami.

Daya Juang sebagai Kompensasi (Striving Force as Compensation)
Manusia berjuang menuju keunggulan atau keberhasilan sebagai alat kompensasi perasaan-perasaan inferioritas atau kelemahannya. Adler percaya kalau kelahiran manusia dengan tubuh yang kecil, lemah dan inferior merupakan sebuah “anugerah”. Kelemahan-kelemahan fisik ini membangkitkan perasaan inferioritas justru karena manusia pada hakekatnya memang memiliki sebuah kecenderungan bawaan menuju perlengkapan atau pemenuhan.

Perjuangan menuju Keunggulan Pribadi (Striving for Personal Superiority)
Beberapa orang berjuang menuju keunggulan dengan sedikit atau bahkan tidak memiliki kepedulian terhadap orang lain. Tujuannya semata-mata pribadi, dan perjuangan mereka sebagian besar dimotivasikan oleh perasaan-perasaan inferioritas pribadi yang berlebih-lebihan.

Perjuangan menuju Keberhasilan (Striving for Success)
Terbalik dengan mereka yang berjuang bagi pencapaian pribadi adalah orang-orang yang secara psikologis sehat, yang tindakan-tindakannya murni termotivasi oleh kepedulian social dan keberhasilan seluruh umat manusia. Individu yang sehat ini lebih memperhatikan tujuan-tujuan yang melampaui kenyamanan diri mereka, sanggup membantu orang lain tanpa menuntut atau mengharapkan pujian pribadi, dan sanggup melihat orang lain bukan sebagai musuh melainkan sebagai manusia biasa yang dengannya mereka dapat bekerja sama demi kemaslahatan social (social benefit). Keberhasilan mereka tidak dicapai dengan mengorbankan orang lain, melainkan lebih merupakan kecenderungan alamiah untuk bergerak menuju penyelesaian atau penyempurnaan.

PERSEPSI-PERSEPSI SUBJEKTIF (SUBJECTIVE PERCEPTIONS)
Diktum kedua Adler adalah: persepsi-persepsi subjektif manusia membentuk perilaku dan kepribadian mereka.
            Perjuangan manusia menuju keunggulan atau keberhasilan adalah kompensasi bagi perasaan-perasaan inferioritasnya. Cara-cara mereka berjuang tidak dibentuk oleh realitas melainkan oleh persepsi-persepsi subjektif terhadap realitas.

Fiksionalisme
Fiksi kita yang paling penting adalah tujuan menjadi unggul atau berhasil, sebuah tujuan yang kita ciptakan di fase hidup sebelumnya dan tidak selalu terpahami dengan jelas. Tujuan akhir fiksional dan subjektif ini menuntun gaya hidup kita, memberikan integritas bagi kepribadian kita.



Inferioritas Fisik
Karena manusia memulai kehidupan dari sesuatu yang kecil, lemah, dan inferior, mereka mengembangkan sebuah fiksi atau system keyakinan tentang tata cara mengatasi kelemahan-kelemahan fisik ini untuk menjadi besar, kuat dan unggul. Bahkan setelah mencapai ukuran, kekuatan, dan keunggulan yang diinginkan, mereka masih bisa bertindak seolah-olah masih kecil, lemah dan inferior.

Adler percaya bahwa manusia pada dasarnya adalah penentu dirinya sendiri dan bahwa mereka membentuk kepribadian dari makna yang mereka berikan kepada pengalaman-pengalaman mereka. Adler juga percaya bahwa interpretasi manusia terhadap pengalaman lebih penting daripada pengalaman-pengalaman itu sendiri. Tidak ada masa lalu atau masa depan yang menentukan perilaku saat ini. Meskipun begitu, manusia selalu termotivasikan oleh persepsi-persepsi masa kini mengenai masa lalu dan harapan-harapan saat ini mengenai masa depan.
Manusia bergerak maju, dimotivasikan oleh tujuan di depan lebih daripada insting-insting bawaan atau daya-daya kausal. Tujuan masa depan ini sering kali ketat dan tidak realistik, namun kebebasan pribadi manusia mengizinkan mereka membentuk ulang tujuan-tujuan mereka, dan karenanya mengubah hidup mereka.
Adler percaya bahwa pada akhirnya manusia bertanggung jawab atas kepribadian mereka sendiri. Daya kreatif manusia sanggup mentransformasikan perasaan-perasaan tidak tepat menjadi kepedulian social maupun tujuan keunggulan pribadi yang berpusat pada diri sendiri. Kemampuan ini berarti manusia tetap bebas untuk memilih antara sehat secara psikologis atau neoretisme. Adler menganggap pemusatan pada diri sendiri sebagai patologi sedangkan kepedulian social yang kuat sebagai standar kedewasaan psikologis. Manusia yang sehat memiliki tingkat kepedulian social tinggi namun, di sepanjang hidup mereka, manusia masih tetap bebas untuk menerima atau menolak normalitas dan menjadi apa yang mereka inginkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar